Senin, 24 Januari 2011

PERJALANAN MENCARI CINTA (CINTA TELAH MENGUBAHKU MENJADI SUFI)

Arif marasa sarapan pagi seperti arena balap kuda. Ibu dan ayahnya berlomba mengunyah makanan secepat-cepatnya. Setelah mereka pergi, tak sempat menanyakan perkembangan sekolah Arif, bagaiman rasanya berubah seragam dari putih biru ke putih abu-abu, bagaimana pelajarannya, apakah ada kesulitan ? Kedua orang tuanya hanya mengejar target cetak sablon, janji dengan mitra kerja. Mereka percaya Arif anak baik, tak akan berbuat aneh-aneh segala kebutuhan anak semata wayangnya dipenuhi. Jadi, kurang apa lagi?
Arif butuh cinta, perlu perhatian. Dan orang tuanya tidak menyisakan sedikit waktu untuk mencintai dan memperhatikan Arif. Waktu tersita untuk kerja dan kerja, tak ada habisnya. Bahkan di hari liburpun mereka sering lembur, memenuhi permintaan pelanggan. Jadilah Arif berkawan akrab dengan sepi, sendiri.
Di sekolah, Arif berusaha memenuhi kebutuhan cinta dan perhatian. Tapi entah mengapa dia kurang suka dengan teman-temannya yang pacar-pacaran, nongkrong, sampai mabuk-mabukan. Apakah karena sejak kecil dia telah akrab dengan kesendirian, hingga sulit membuka diri pada orang lain? Arif juga bingung. Dia lebih memilih, melampiaskan kegundahan pada kertas kosong menulis. Setidaknya dia punya penyaluran, agar hati tidak benar-benar hampa.
Orang tuanya tak kunjung melepaskan Arif dari ikatan sepi. Maka suatu hari, Arif berbalik  Dia mendekati orang tuanya. Arif minta diajari cara mencetak dan menyablon. Orang tuanya tak keberatan. Pulang sekolah Arif pergi ke percetakan ayah-ibunya. Ikut bekerja atau sekedar mengawasi. Di sana dia banyak tahu, bagaimana keseharian orang tuanya seolah melupakan dirinya, sibuk bekerja.
Arif terpaksa mengehentikan kunjungan dan kerja sampingannya di percetakan menjelang lulus SMA. Dia menyiapkan diri untuk ujian akhir dan ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri. Pernah dia berkata pada ayahnya, “Pak, lulus sekolah nanti Arif ingin kuliah di PTN. Arif pengen jadi sarjana ekonomi.”
Ayahnya tak menaggapi, ibunya juga menganggap angin lalu. Mereka tetap asyik menekuni koran. Ada berita apa? Siapa tahu ada pesta rakyat yang membuat pundi-pundi uang menggelembung. “Biaya masuknya agak besar. Arif akan bantu sedikit dari tabungan “ Ibunya menghela nafas. “ Kamu mau kuliah? Sudahlah. Rif. Ngapain capek-capek kuliah ? Nanti masih harus cari kerja. Nganggur. Bantu Bapak dan Ibu saja.” “Betul, Rif. Bapak saja cuma tamat SMA tapi bisa lebih kaya dari teman bapak yang dahulu kuliah. Kuliah nggak banyak mengubah nasib kita”
Tubuh Arif mendadak letih. Sayu memandang ayah dan ibunya. Kenapa pikiran mereka sempit begitu ? Kuliah hanya untuk cari kerja, memang begitu nasibnya; cari kerja sana sini, jadi pengangguran. Kuliah bukan hanya untuk gelar, tapi juga untuk membentuk pola pikir lebih sistematis, menambah wawasan, dan pergaulan. Hal itu pernah dikatakan wali kelas Arif sebelum para siswa mengikuti ujian akhir.
Arif tetap mendesak, berpendapat sebisanya. Orang tuanya tetap tak setuju. Arif tak peduli. Dia ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri dengan biaya sendiri dan dia gagal. Orang tuanya semakin menyudutkannya. Melemahkan semangatnya. Mereka tak mau membiayai Arif kuliah di universitas swasta. Mahal! Lebih baik uangnya untuk memperluas usaha. Arif tak betah lagi. marah, resah, Arif kabur. Menuju kota tetangga.
Jalanan menjadi tempat berlabuh. Dengan uang tabungan seadanya, dia menyewa kontrakan sederhana. Komunitas pemuda jalanan menjadi wadah pergaulannya. Semoga ada perdamaian di sana. Hari demi hari selalu sama. Mengamen di warung kaki lima. Menjual suara dari satu angkot ke angkot lain. Sayang, damai tak juga datang. Teman seprofesi tak ada yang membuat nyaman. Selain mahir bermain gitar, mereka juga pandai bermain kartu. Menukar uang, keringat seharian dengan satu kegiatan; judi! Sering pula dibarengai dengan mabuk-mabukan. Main perempuan, Bandar narkoba, membayangi langkah. Arif tak betah. Kembali dia menekuni kebiasaan lama: menulis.
Arif menumpahkan isi hati, kegelisahan dan keresahannya dalam bait-bait lagu, puisi, dan untaian hikmah. Lewat tulisan dia mencari, apa sebenarnya yang dia inginkan. Apa yang bisa membuatnya tenang. Arif menuangkan pikirannya hingga berlembar-lembar. Beberapa dibukukan untuk dikonsumsi sendiri. Dengan membaca tulisannya, dia seolah bercermin, melihat lebih dalam, siapa dirinya sebenarnya?
Sampai akhirnya dia sadar. Orang tuanya tak mempekenalkan satu hal penting: “Tuhan” Orang tuanya tidak mengajarinya mencintai Tuhan. Tidak mencontohkan bagaimana menyembah Tuhan. Dia tak begitu paham, ada lima waktu dimana dia harus tegak menghadap Tuhan-Nya. Disekolah memang sempat hal itu dia pelajari. Tapi berlalu saja bersama angin. Arif mulai menyimak panggilan azan. Berjalan menuju pada-Nya.
Saat sujud, saat merendahkan diri dihadapan-Nya, barulah arif mendapatkan kedamaian. Inilah titik akhir pencariannya. Arif mulai belajar, bagaimana salat yang baik dan benar. Bagaimana cara merayu-Nya dan tetap dekat dengan-Nya.
Amal akhirat sudah berusaha dijalankan, bagaiman dengan amal dunia? Arif kembali berkaca. Kemampuan apa yang dia miliki sehingga bisa bermanfaat untuk orang lain? Dia teringat tulisannya, yang telah menemaninya saat melewati masa-masa sulit. Dia teringat mesin cetak sablon. Dengan modal seadanya, dia membuka usaha percetakan dan sablon. Usahanya merangkak, dari kecil sehingga lumayan besar. Cukuplah untuk membiayai hidupnya sendiri. meskipun begitu, tekadang merasa jenuh. Padahal salat dan amalan sunah sudah sering dilaksanakan.
Beberapa jamaah baru di masjid menasehati “selain beribadah secara vertikal, kau juga harus beribadah secara horizontal. Ajak orang lain kembali kepada-Nya, supaya orang merasakan kedamaian yang sama.”
Arif tercenung benar juga. Arif mengamati si penasehat dan rekan-rekannya. Mereka baru sehari disana. Berasal dari tempat yang jauh, menginap dimasjid. Mereka senantiasa mengadakan perjalanan dakwah, rutin setiap bulan. Mengajak orang-orang kembali ke masjid, menjaga salat dan mengajarkan amalan sunah. Setiap selesai salat, mereka membaca kitab kumpulan hadis dan sunnah. Arif tergerak, ikut berdakwah.
Arif merubah penampilannya. Dia mencukur kumis, memanjangkan janggut. Kadang-kadang memakai celak mata dan sorban dikepala. Pakaianya warna-warna tanah. Celana menggantung tak menutupi mata kaki. Tapi dia belum ikut perjalanan jauh. Membekali diri dengan ilmu dulu. Percuma ikut perjalanan kemana-mana, tapi tak punya ilmu untuk disampaikan. Setelah merasa punya bekal ilmu, dia memilih berdakwah kepada lingkungan sekitarnya, tak perlu pergi jauh. Kerja, ibadah, dan dakwah dikelola sedemikian rupa: beriringan, bersinergi. Mendukung satu sama lain.
Saat kedamaian melingkupi, berbagai cobaan datang. Usaha percetakanya merugi. Seorang teman menipu, memesan barang cetakan tanpa dibayar. Lamarannya pada beberapa gadis ditolak mentah-mentah. Dan akhirnya, sebuah truk menabraknya. Arif terluka parah. Gigi depannya patah semua. Selama beberapa minggu dia harus istirahat total di kamar. Di masa penyembuhan itulah dia teringat orang tuanya. Sejak dia kabur, dia tak pernah memberi kabar. Bagaimana keadaan mereka? Apakah sudah tergerak untuk mengingat Tuhan? Arif bertekad, begitu sembuh dia akan mengunjungi orang tuanya.
Pulang kerumah, dia kembali bertemu dengan sepi. Menjelang larut malam barulah kedua orangtuanya pulang. Mereka hampir tak mengenali Arif. Penampilannya begitu berbeda. Mengenakan sorban dan jubah panjang. Mereka baru yakin ketika Arif menegur. Meminta maaf atas kesalahannya. Orangtuanya terharu. Betapa anaknya sudah menjadi sosok berbeda tanpa sentuhan mereka.
Selama berada di rumah orangtuanya, Arif tak henti menasehati. Mengajak mereka salat.
“Ibu sudah lupa bacaanya.” Kata ibunya.
“Bisa dipelajari lagi, bu.”
Bapak malu kalau tetangga tahu, bapak baru belajar salat,” ucap ayahnya.
Tak perlu malu, pak. Mereka lepas tangan saat Allah bertanya, untuk apa hidup kita?”
Arif dengan sabar menuntun kedua orang tuanya kembali kepada jalanya. Setelah yakin orang tuanya bisa salat tanpa dituntun. Arif kembali kerumahnya. Dan setelah itu berbagai kemudahan datang kepadanya. Seorang teman meminjami modal usaha. Tetangga menawarkan anak gadisnya. Hidup Arif benar-benar damai sekarang. Dia telah menemukan cinta yang sebenarnya.
Dinukil Oleh :
Majelis Al-Qur’an An-Nawawi
Musholla An-Nawawi
Mergosono Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar