Senin, 31 Januari 2011

Pertemuan Rasulullah dengan Kekasihnya Menghadap Hadirat Allah SWT

Ust. Muhsin al-Hamid:

Allah SWT telah menentukan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Siapa pun pasti akan ditemui oleh kematian. Tidak peduli apapun jabatan dan kedudukannya. Tua atau muda, sakit atau tidak, pria maupun wanita, jika tiba ajalnya maka tidaklah dapat dimajukan atau diundurkan walau sesaat.
Para Anbiya' telah menghadap Allah, umat-umat terdahulu telah merasakan kematian. Tidak terkecuali Nabi kita tercinta Nabi Muhammad SAW. Sebagai hamba Allah, beliau tak luput dari kematian. Hal ini telah dinyatakan sendiri oleh Allah SWT dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 30 (yang artinya):
"Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) akan mati dan mereka juga akan mati."
Untuk sebagian orang, kematian dianggap suatu yang menakutkan, tetapi untuk pribadi Rasulullah SAW kematian adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu karena dengan itulah beliau berjumpa dengan Kekasihnya. Tuhan sekalian alam. Setiap kekasih akan selalu senang berkumpul dan bersua dengan yang dicintainya.

Wafat Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, dan beliau wafat pada hari Senin pula. Menurut jumhur ulama'beliau saw meninggal pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal di waktu dhuha(awal siang). Dan dikebumikan pada hari Rabu.
Hari itu hari Jumat. Rasulullah SAW jatuh sakit. Orang-orang silih ganti membesuk beliau.
Esoknya beliau masih sakit. Esoknya lagi belum sembuh. Dan seterusnya. Pada hari ke-17, hari Ahad, sakit beliau memburuk sangat. Beliau tidak kuat bangun.
Fajar merekah, Bilal r.a. mengumandangkan adzan. Seperti biasa, usai adzan, dia berjalan ke depan pintu kediaman Nabi SAW.
"Assalamu’alaika ya Rasulallah," katanya.
"Waktunya shalat, rahimakallah."
Beliau mendengar panggilan Bilal ini, namun Fathimah r.a. yang menyahut,
"Bilal, Rasulallah SAW hari ini udzur. Beliau tidak kuat bangun."
Bilal masuk kembali ke dalam masjid. Ketika hari meremang, Bilal berkata pada diri sendiri,
"Demi Allah, aku tidak akan menyeru iqamat, sebelum aku meminta izin pada Rasulullah Saw."
Dia pun kembali ke pintu rumah beliau.
"Assalamu’alaika ya Rasulallah wa barakatuh. Ash-shalah yarhamukallah (Waktunya shalat, mudah-mudahan Allah merahmatimu)."
Mendengar panggilan ini, beliau bersabda,
"Masuklah Bilal, Rasulallah SAW sangat payah, tak bisa bangun. Suruh Abu Bakar mengimami jamaah."
Bilal keluar dari kediaman beliau sembari menaruh dua tangannya di belakang kepala.
"Duh, tolonglah Gusti. Duh, putus sudah harapan. Duh, remuk redam punggungku. Andaikan ibuku tak pernah melahirkanku. Ah, tapi dia sudah melahirkanku. Andai saja aku tidak melihat kondisi Rasulullah SAW hari ini."
Setiba di dalam masjid dia berkata,
"Abu Bakar, Rasulullah SAW menyuruhmu mengimami shalat jamaah."
Abu Bakar r.a. berjalan menuju ke mihrab. Dia adalah lelaki kurus. Ketika melihat tempat di mana Rasulullah SAW biasa berdiri sekarang kosong, dia tidak tahan. Dia jatuh bergedebam. Pingsan. Orang-orang langsung gaduh. Semua menangis. Rasulullah SAW mendengar suara gaduh ini.
"Ada apa kok gaduh?" tanya beliau.
"Kaum muslimin gaduh karena kehilangan Engkau, ya Rasulallah."
Beliau memanggil Ali ibn Abi Thalib r.a. dan Ibnu Abbas r.a. Dengan bertelekan pada tubuh mereka, beliau berjalan ke luar ke masjid. Kemudian beliau mengimami slalat shubuh dengan cepat. Usai shalat, beliau memalingkan muka beliau yang bagus, menghadap ke arah jamaah.
"Kaum muslimin sekalian, aku titipkan kalian kepada Allah. Kalian akan berada di bawah perlindungan Allah dan keamanan-Nya. Allah menggantikanku bagi kalian. Kaum muslimin sekalian, hendaklah kalian tetap bertakwa pada Allah, tetap menjaga taat pada-Nya setelah kematianku. Aku akan segera meninggalkan dunia ini. Ini adalah hari permulaan akhiratku dan hari terakhir duniaku."
Keesokan harinya, sakit beliau bertambah parah. Allah menyampaikan wahyu pada malaikat pencabut nyawa,
"Turunlah kamu ke tempat kekasih-Ku, pilihan-Ku, Muhammad SAW dengan rupa paling bagus. Cabutlah nyawanya dengan lembut."
Maka turunlah malaikat maut. Dia berdiri di depan pintu rumah beliau dengan rupa orang Badui (pedalaman).
"Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk?"
Aisyah r.a. menoleh ke arah Fathimah r.a.
"Tolong lelaki itu dijawab."
Fathimah berkata,
"Mudah-mudahan Allah membalas jalan Anda, wahai Abdullah (hamba Allah). Rasulullah SAW sedang udzur, sakit sangat parah."
Lelaki di luar pintu tersebut tidak beranjak dari tempat. Dia malah menyeru seperti tadi. Aisyah berpaling ke arah Fathimah,
"Fathimah, tolong lelaki itu dijawab."
"Mudah-mudahan Allah membalas jalanmu, tapi Rasulullah SAW sedang payah, sakit sangat parah."
Lelaki itu kembali memanggil untuk yang ketiga kali.
"Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk? Saya memang harus masuk."
Rasulullah SAW mendengar panggilan ini.
"Fathimah, siapa di pintu?" tanya beliau.
"Ya Rasulallah, seorang lelaki berdiri di depan pintu. Dia minta izin untuk masuk. Kami sudah jawab berkali-kali. Lalu untuk ketiga kali dia menyeru dengan suara yang membuat bulu kudukku berdiri, bergetar seluruh tubuhku."
"Fathimah, tahukah Kamu siapa di depan pintu itu? Dia adalah penghancur kelezatan dan pemisah jamaah. Dia membuat istri-istri menjadi janda, anak-anak jadi yatim. Dia peroboh rumah-rumah dan pemakmur kubur-kubur. Masuklah rahimakallah, wahai malaikat maut."
Maka masuklah si malaikat maut. Nabi SAW bersabda,
"Malaikat maut, engkau datang untuk berziarah atau mencabut nyawa?"
"Aku datang untuk berziarah sekaligus mencabut nyawa. Allah memerintahkan aku supaya tidak masuk ke rumahmu kecuali dengan izinmu, dan tidak mencabut nyawamu kecuali dengan izinmu. Kalau kamu izinkan, aku masuk. Kalau tidak, aku kembali pada Tuhanku."
"Malaikat maut, di mana kau tinggalkan kekasihku, Jibril?"
"Aku tinggalkan dia di langit dunia. Sementara para malaikat lain bertakziah kepadanya untuk Baginda."
Tak lama kemudian Jibril a.s. datang. Dia duduk di damping kepala beliau.
"Jibril, ini adalah keberangkatan dari dunia. Berilah aku kabar gembira, tentang aku kemudian Allah."
"Pintu-pintu langit telah dihias bagus. Para malaikat berdiri berbaris memakai wewangian dan dengan ucapan selamat. Mereka hendak menyongsong ruhmu, Muhammad."
"Hanya untuk Allah segala pujian. Berilah aku kabar gembira, Jibril."
"Aku beri kabar gembira bahwa pintu-pintu surga telah dihias indah. Bengawan-bengawannya sudah dialirkan. Pohon-pohonnya sudah berjuntai ke bawah. Para bidadarinya telah bersolek guna menyambut kedatanganmu, Muhammad."
"Hanya bagi Allah segala pujian. Beri aku kabar gembira, Jibril."
"Engkau bakal menjadi orang yang pertama kali memberi syafaat, dan orang pertama yang diberi syafaat pada hari kiamat."
"Hanya bagi Allah segala pujian."
"Kekasihku, tentang apakah Engkau hendak bertanya?"
"Aku ingin bertanya mengenai kegundahanku. Siapakah (penjaga bagi) pembaca-pembaca Quran setelahku? Siapakah yang berpuasa bulan Ramadhan setelahku? Siapakah berhaji ke Baitullah setelahku? Siapakah umatku yang terpilih setelahku?"
"Berbahagialah, kekasih Allah, karena Allah SWT berfirman, ‘Aku telah mengharamkan surga bagi seluruh nabi dan seluruh umat samapai Engkau memasukinya, dan umatmu.’"
"Sekarang hatiku lega. Malaikat maut, tunggu apa lagi, laksankan apa yang diperintahkan padamu."
Ali r.a. berkata,
"Ya Rasulallah, kalau nyawamu telah dicabut, siapakah yang akan memandikan jasadmu? Bagaimana kami mengkafanimu? Siapakah yang menyalatimu? Dan siapa yang masuk ke kuburmu?"
Beliau bersabda,
"Ali, adapun soal memandikan, hendaklah Engkau yang memandikanku. Al-Fadhal bin Abbas akan menuangkan air padamu, dan Jibril adalah orang ketiga dari kalian berdua. Kalau kalian sudah memandikanku, kafanilah aku dengan tiga lembar kain kafan yang baru, dan Jibril akan membawakan wewangian (untuk kafanku) dari surga. Bila kamu telah meletakkan jasadku di atas keranda, letakkan aku di dalam masjid. Keluarlah kalian, tinggalkan aku sendiri karena yang pertama kali shalat (memberi rahmat) padaku ialah Allah dari atas ‘Arasy-Nya. Lantas Jibril a.s., Mikail a.s., kemudian Isrofil a.s., menyolatiku. Selanjutnya para malaikat secara berkelompok-kelompok. Setelah itu, masuklah kalian ke dalam masjid. Berdiri berbarislah kalian dalam shaf-shaf. Tak seorang pun boleh maju daripada yang lain (menjadi imam)."
Fathimah r.a. berkata,
"Hari ini adalah hari perpisahan. Kapankah aku dapat menjumpaimu?"
"Pada hari kebangkitan (hari kiamat), lalu di telaga. Aku memberi minum pada orang-orang dari umatku yang datang ke telagaku."
"Kalau aku tidak dapat bertemu denganmu?"
"Di timbangan (Mizan). Aku akan memberi syafaat pada umatku"
"Kalau aku tidak jumpa?"
"Di Shirathal Mustaqim. Aku akan menyeru, ‘Tuhan, selamatkanlah umatku dari neraka.’"

Sakaratul Maut

Malaikat mendekat dan mulai mencabut nyawa beliau dengan lembut. Ketika ruh sampai di dua lutut, beliau berseru,
"Auh."
Ruh terus bergerak. Saat ruh sampai di pusar, beliau tersenyum,
"Oh sedihku."
Fathimah menyahut,
"Betapa sedihku, Ayahanda."
Ketika ruh mencapai dada, beliau bersabda,
"Jibril, betapa pahitnya kematian."
Jibril memalingkan mukanya. Dan beliau bersabda,
"Jibril, apa kamu tidak suka melihat keadaanku?"
"Kekasihku, siapa yang tahan melihatmu yang mengalami sakaratul maut?"
Lantas, beliau menghembuskan nafas terakhir. Ruh telah dicabut dari jasad beliau seluruhnya.
Kemudian, Ali memandikan jasad beliau, sementara Ibnu Abbas menuangkan air untuknya, dan Jibril berdiri menunggui.
Setelah itu, beliau dikafani dengan tiga lembar kain. Lalu dibawa di atas keranda ke dalam masjid. Setelah meletakkan keranda di sana, orang-orang keluar. Allah yang pertama memberi rahmat pada beliau. Dilanjutkan Jibril, Mikail, dan para malaikat menyalati.
"Kami mendengar suara ‘hm'yang bersahutan di dalam masjid, padahal kami tidak melihat satu sosok pun." kenang Ali.
Kemudian kami mendengar suara tanpa wujud,
'Masuklah kalian rahimakumullah. Shalatilah nabi kalian SAW.’
Maka kami masuk dan berdiri dalam shaf-shaf sebagaimana beliau perintahkan. Tak seorang pun dari kami maju. Kami bertakbir bersama takbir Jibril."
Kemudian upacara pemakaman. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., dan Ibnu Abbas r.a. masuk ke liang kubur, dan jasad beliau dikuburkan. Ketika orang-orang bubar, Fathimah r.a. berkata kepada Ali r.a., suaminya,
"Abal Hasan, kalian telah mengubur Rasulullah?"
"Ya."
"Tega sekali kalian menguruk jasad beliau dengan tanah. Tidak adakah rasa sayang di hati kalian kepada Rasulullah SAW? Bukankah beliau pembimbing kea rah kebajikan?"
"Tentu, Fathimah. Tetapi keputusan Allah tidak ada yang dapat menolak."
Seketika Fathimah menangis mengguguk.
"Oh ayah, sekarang terputuslah Jibril. Dulu Jibril biasa mendatangi kami membawa wahyu dari langit."
Beliau SAW menutup kehidupan dunia ini dengan ridho dan diridhoi oleh Allah SWT pada usia 63 tahun. Ketika meninggal, jasad beliau ditutupi kain dari Yaman. Para sahabat yang mendengar berita itu, spontan terkejut dan kaget seakan tidak percaya bahwa Nabi telah betul-betul menghadap Allah.
Umar bin Khattab awalnya mengingkari berita kematian Nabi itu, Utsman bin Affan pura-pura tuli sedang Ali bin Abi Thalib jatuh lemas. Dan sahabat yang lain menangis tertunduk lemah. Sungguh tidak ada yang lebih kuat menahan diri pada saat itu kecuali 'Abbas, paman Nabi dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
Beliau dikafani dengan tiga lapis kain putih, dihamparkan karpet merah di bawah jasad Nabi ketika akan dikubur.
Yang mengurus pembuatan lahat Rasulullah SAW adalah sahabat Abu Thalhah. Beliau dikuburkan di rumah isteri tercintanya Sayyidah 'Aisyah r.a. dan setelah itu dikubur pula berdampingan dengan beliau dua sahabatnya yang mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

Sabtu, 29 Januari 2011

SYI'IR TANPO WATHON

Oleh ; Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid)
Ditulis oleh KH. Muhammad Nizam As-Shofa, Lc


Kami mulai lantunkan syair
Ngawiti insun ngelalar syiiran
Dengan memuji kepada Pangeran ( Allah swt)
Kelawan muji mareng pengeran
Yang memberi rahmat dan kenikmatan
Kang paring rohmat lan kenikmatan
Siang dan malam tanpa perhitungan
rino wengine tanpo pitungan 2x

Duh bala teman pria wanita
Duh bolo konco prio wanito
Jangan hanya mengaji syareat belaka
Ojo mung ngaji syareat bloko
Hanya pintar mendongeng, menulis dan membaca
kur pinter ndongeng nulis lan moco
Nanti di belakang hari akan sengsara
tembe  mburine bakal sangsoro 2x

Banyak yang hafal Qur’an Hadistnya
Akeh kang apal quran hadiste
Senang mengkafirkan kepada orang lainnya
Seneng ngafirke marang liyane
Kafirnya sendiri tidak diperhatikan
Kafire dewe gak digatekke
Bahwa masih kotor hati dan akalnya
yen isih kotor ati akale 2x

Gampang terbujuk nafsu angkara
gampang kabujuk nafsu angkoro
Dalam perhiasan gebyarnya dunia
Ing pepahese gebyare dunyo
Iri dan dengki dengan kekayaan tetangga
iri lan meri sugiye tonggo
Maka hatinya gelap dan nista
Mulo atine peteng lan nista 2x

Mari saudara jangan melupakan
Ayo sedulur jo  nglaleke
Kewajiban mengaji beserta kelengkapannya
Wajibe ngaji sang pranatane
Untuk menebalkan Iman Tauhidnya
Gawe nebelake iman tauhit e
Bagusnya bekal untuk kemuliaan matinya
baguse sangu mulyo matine 2x

Yang disebut sholeh bagus hatinya
Kang aran soleh bagus atine
Karena mapan seri ilmunya
Kerono mapan seri ilmune
Menjalankan Thoriqot dan Ma’rifatnya
Laku torekot lan ma’rifate
Dan Hakekat agar merasuk rasanya
Ugo hakekat manjing rasane 2x

Al-Qur’an qodim wahyu mulia
Al qur’an qodim wahyu minulyo
Tanpa tertulis namun bisa dibaca
Tanpo tinulis biso di woco
Itulah didikan Guru waskita
Iku wejangan guru waskito
Ditancapkan di dalam dada
Den tancepake ing jero dodo 2x

Melekat di hati dan pikiran
Kumantel ati lan pikiran
Merasuk di badan sampai ke dalam
Merasuk ing badan lan ndek jeroan
Mu’jizat Rosul jadi pedoman
Mu’jizat rasul dadi pedoman
Sebagai jalan keberadaan Iman
Minongko dalan manjinge iman 2x

Kepada Allah yang Maha Suci
Kelawan Allah kang Moho Suci
Harus ”berpelukan” siang dan malam
Kudu rangkulan rino lan wengi
Melakukan tirakat dan riyadho
Di tirakati di riyadhohi
Dzikir dan suluk jangan sampai lupa
Dzikir lan suluk jo nganti lali 2x

Hidupnya damai merasa aman
Uripe ayem rumongso aman
Adanya rasa tanda bahwa beriman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar menerima meskipun pas-pasan
Sabar narimo snajan pas-pasan
Semua sudah takdirkan oleh Pangeran ( Allah swt)
Kaben tinakder saking  pengeran 2x

Terhadap teman saudara dan tetangga
Kelawan konco dulur  lan tangga
Yang sama2 rukun jangan disia2kan
Kang podo rukun ojo disio
Itu sunnahnya Rasul yang mulia
Iku sunahe rasul kang mulyo
Nabi Muhammad panutan kita
Nabi Muhammad panutan kito 2x


Mari  menjalankan semuanya
Ayo nglakoni sekabehane
Allah yang akan mengangkat derajatnya
Allah kang bakal ngangkat drajate
Meskipun jelek rupa lahiriahnya
Senajan asor rupo dohire
Namun mulia maqom derajatnya
Ananging mulyo maqom drajate 2x

Dan nanti pada akhirnya
Arupalastro ing pungkasane
Tidak akan tersesat roh dan sukmanya
Ora kesasar roh lan sukmane
Dijamin Allah sorga tempatnya
Den gadang Allah swargo manggone
Utuh jasadnya juga kafannya
Utuh mayite ugo ulese 2x


Ajaran Tasawuf dalam Puji-pujian Menjelang Shalat Fardlu


06/12/2010
Puji-pujian didendangkan di mushalla, langgar atau masjid merupakan nyanyian puitis yang bernuansa keagamaan. Puji-pujian tersebut biasanya didendangkan  bersama-sama  oleh  para  jemaah menjelang shalat Subuh, Dzhur, Ashar, Maghrib atau  Isya sembari menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut mendirikan shalat berjamaah. Puji-pujian tersebut ada yang menggunakan bahasa Arab maupun bahasa daerah. Mungkin  berkat  susunannya  yang ritmis, puji-pujian ini mudah dihafal dan menyebar dari satu musala atau masjid ke musala lainnya.

Puji-pujian yang didendangkan para jemaah ini biasanya selalu didahului dengan salawatan atau membaca shalawat Nabi dan puji-pujian pada Nabi SAW. Meskipun puji-pujian tersebut berbahasa Jawa, puji-pujian ini selalu didahului shalawat nabi yang memiliki berbagia keutamaan.

Dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a ( dalam Assamarqandi, 1980: 619) Nabi SAW bersabda yang artinya: “Bacalah shalawat untukku, sebab bacaan shalawat itu membersihkan kekotoranmu (dosa-dosamu) dan mintalah kepada Allah untukku wasilah. Apakah wasilah itu ya Rasulullah? Jawabnya: Satu derajat yang tertinggi dalam sorga yang tidak akan dicapai kecuali oleh seorang, dan saya  berharap semoga sayalah orangnya”.

Orang mengenal pujian disebarkan oleh kalangan pesantren dan ada yang mengatakan puji-pujian ini diperkenalkan oleh para walisongo, yakni penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Seperti yang masyarakat kenal lewat sejarah bahwa pendekatan yang digunakan para Walisongo dalam menyebarkan agama Islan adalah  pendekatan persuasif yang bersifat kemasyarakatan sesuai dengan adat dan budaya masyarakat waktu itu.

Salah satu contohnya adalah Sunan Giri yang menciptakan Asmaradana dan Pucung. Sunan Giri jugalah yang menciptakan tembang-tembang dolanan anak-anak yang di dalamnya diberi unsur keislaman, misalnya Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan Delikan (Rahimsyah, tanpa tahun: 54).

Selain Sunan Giri, ada lagi Sunan Bonang yang menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab ”Salakattariiqa” , artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmu Suluk ini ajarannya biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid. Salah satu Suluk Wragul dari Sunan Bonang yang terkenal adalah Dhandanggula. Sebagian masyarakat (yang mengenal tarikat) mengatakan bahwa teks puji-pujian diciptakan oleh para pemimpin tarikat dan Syekh Abdul Qadir Jailani.

Puji-pujian yang diperdengarkan di musala berisi shalawatan, do’a-doa mustajabah, dan petuah-petuah hidup. Puji-pujian yang diperdengarkan di musala-musala atau masjid-masjid kental dengan ajaran Tasawuf.

Obat Hati Lima Perkara

Pedoman hidup muslim adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an diturunkan Allah melalui utusan-Nya , yakni Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Al-Qur’an dan Al-Hadits ini menjadi jelaslah jalan lurus yang harus ditempuh manusia serta aliran yang benar yang harus diikuti untuk memahami pengertian-pengertian hukum yang tercantum di dalamnya. Hal ini pulalah yang merupakan pemisah antara yang halal dan haram. Fungsinya adalah sebagai cahaya yang cemerlang, dengan berpegang teguh itu akan selamatlah setiap manusia dari tipuan. Kandungannya penuh dengan penawar untuk menyembuhkan hati dan jiwa yang sakit.

Mengenai obat hati ini, dalam teks puji-pujian ditawarkan adanya lima hal yang mampu menjadi obat bagi hati manusia. Kelima hal tersebut adalah (1) membaca Alqur’an dengan mengendapkan maknanya, (2) memperbanyak melakukan shalat malam, (3) berkumpul dengan orang Shaleh atau bergaul dan berguru pada orang Shaleh, (4) mampu menahan lapar atau perbanyak berpuasa, dan (5) perbanyak berdzikir di malam hari. Berikut kutipannya.

Tombo ati iku limo sak wernane
Kaping pisan maca Qur’an sak maknane
Kaping pindu shalat wengi lakonono
Kaping telu wong kang shaleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng engkang luwe
Kaping limo dzikir wengi engkang sue
 

Syair obat hati ini kemudian diakhiri:

Insya Allah Gusti Allah ngijabahi
Insya Allah, Allah mengabulkan

Mengingat Kematian

Setiap yang hidup pasti akan mati, demikian halnya dengan manusia. Semua manusia di dunia ini akan mati. Untuk itu melalui salah satu puji-pujian manusia diingatkan akan datangnya kematian. Adapun teksnya adalah sebagai berikut.

Ilingono para timbalan
(Ingatlah jika sudah waktunya dipanggil)
Timbalane ora keno wakilan’
(Panggilannya tak bisa diwakilkan)
Timbalane kang maha mulya
(Panggilan dari Yang Maha Kuasa)
Gelem ora bakal lunga
(Mau-tak mau harus pergi)

Panggilan yang dimaksudkan adalah panggilan Yang Maha Kuasa.Tak ada satupun yang kuasa menghalanginya. Harta, tahta, ataupun kerabat dan keluarga takkan bisa menghentikannya.  Panggilan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama di dunia. Hendaknya selama masih hidup selalu ingat dan takut hanya pada Allah karena dengan rasa takut itu menjadikannya berhati-hati dan berusaha selalu di jalan yang benar.


Gambaran orang yang sudah mati dalam teks puji-pujian adalah sebagai berikut.
Klambine diganti putih
(Bajunya diganti putih)
Nek budal ora bisa mole
(Jika berangkat tak bisa kembali)
Tumpak ane kereto jowo
(Kendaraannya kereta Jawa)
Roda papat rupa menongsa
(Beroda empat berupa manusia)

Oma e rupa goa
(Rumahnya serupa Go’a)
Ora bantal ora keloso
(Tak ada bantal ataupun tikar)
Omah e gak nok lawange
(Rumahnya tidak ada pintunya)
Turu ijen gak nok rewange
(Tidur sendirian tak ada yang menemani)

Perintah untuk memperbanyak mengingat kematian dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Tirmidzi (dalam Addimasyqy, 1983: 1048) menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ” Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (kematian)”. Selain itu, mengingat kematian dapat melebur dosa dan berzuhud. Dengan mengingat kematian maka kematian itu sendiri sebagai pengingat pada diri sendiri dan orang yang tercerdik adalah orang yang terbanyak mengingat kepada kematian sebagaimana makna hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abiddunnya berikut.

”Secerdik-cerdik manusia ialah  yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian itu. Mereka itulah orang-orang yang benar-banr cerdik dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan akhirat” (dalam Addimasyqy, 1983: 1049).

Ajaran Tasawuf yang salah satunya adalah ajakan untuk melakukan zuhud merupakan salah satu jalan untuk takut dan berusaha mendekatkan diri pada Allah. Menurut Imam Ahmad bin Hambal (dalam Dahlan, dkk, 1988: 324), seorang ahli fiqih, membagi zuhud menjadi tiga, yakni (1) meninggalkan yang haram (zuhud orang awam); (2) meninggalkan yang tak berguna dari yang halal (zuhud orang khawash, para aulia’); dan (3) meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan diri dari Allah SWT (zuhud orang Arifin, orang yang sangat dekat dan kenal benar pada Allah.

Faiqotur Rosidah
Pengajar di P.P Darul ‘Ulum Peterongan Jombang, sedang menyelesaikan S-2 di Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya (UNESA)

Senin, 24 Januari 2011

PERJALANAN MENCARI CINTA (CINTA TELAH MENGUBAHKU MENJADI SUFI)

Arif marasa sarapan pagi seperti arena balap kuda. Ibu dan ayahnya berlomba mengunyah makanan secepat-cepatnya. Setelah mereka pergi, tak sempat menanyakan perkembangan sekolah Arif, bagaiman rasanya berubah seragam dari putih biru ke putih abu-abu, bagaimana pelajarannya, apakah ada kesulitan ? Kedua orang tuanya hanya mengejar target cetak sablon, janji dengan mitra kerja. Mereka percaya Arif anak baik, tak akan berbuat aneh-aneh segala kebutuhan anak semata wayangnya dipenuhi. Jadi, kurang apa lagi?
Arif butuh cinta, perlu perhatian. Dan orang tuanya tidak menyisakan sedikit waktu untuk mencintai dan memperhatikan Arif. Waktu tersita untuk kerja dan kerja, tak ada habisnya. Bahkan di hari liburpun mereka sering lembur, memenuhi permintaan pelanggan. Jadilah Arif berkawan akrab dengan sepi, sendiri.
Di sekolah, Arif berusaha memenuhi kebutuhan cinta dan perhatian. Tapi entah mengapa dia kurang suka dengan teman-temannya yang pacar-pacaran, nongkrong, sampai mabuk-mabukan. Apakah karena sejak kecil dia telah akrab dengan kesendirian, hingga sulit membuka diri pada orang lain? Arif juga bingung. Dia lebih memilih, melampiaskan kegundahan pada kertas kosong menulis. Setidaknya dia punya penyaluran, agar hati tidak benar-benar hampa.
Orang tuanya tak kunjung melepaskan Arif dari ikatan sepi. Maka suatu hari, Arif berbalik  Dia mendekati orang tuanya. Arif minta diajari cara mencetak dan menyablon. Orang tuanya tak keberatan. Pulang sekolah Arif pergi ke percetakan ayah-ibunya. Ikut bekerja atau sekedar mengawasi. Di sana dia banyak tahu, bagaimana keseharian orang tuanya seolah melupakan dirinya, sibuk bekerja.
Arif terpaksa mengehentikan kunjungan dan kerja sampingannya di percetakan menjelang lulus SMA. Dia menyiapkan diri untuk ujian akhir dan ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri. Pernah dia berkata pada ayahnya, “Pak, lulus sekolah nanti Arif ingin kuliah di PTN. Arif pengen jadi sarjana ekonomi.”
Ayahnya tak menaggapi, ibunya juga menganggap angin lalu. Mereka tetap asyik menekuni koran. Ada berita apa? Siapa tahu ada pesta rakyat yang membuat pundi-pundi uang menggelembung. “Biaya masuknya agak besar. Arif akan bantu sedikit dari tabungan “ Ibunya menghela nafas. “ Kamu mau kuliah? Sudahlah. Rif. Ngapain capek-capek kuliah ? Nanti masih harus cari kerja. Nganggur. Bantu Bapak dan Ibu saja.” “Betul, Rif. Bapak saja cuma tamat SMA tapi bisa lebih kaya dari teman bapak yang dahulu kuliah. Kuliah nggak banyak mengubah nasib kita”
Tubuh Arif mendadak letih. Sayu memandang ayah dan ibunya. Kenapa pikiran mereka sempit begitu ? Kuliah hanya untuk cari kerja, memang begitu nasibnya; cari kerja sana sini, jadi pengangguran. Kuliah bukan hanya untuk gelar, tapi juga untuk membentuk pola pikir lebih sistematis, menambah wawasan, dan pergaulan. Hal itu pernah dikatakan wali kelas Arif sebelum para siswa mengikuti ujian akhir.
Arif tetap mendesak, berpendapat sebisanya. Orang tuanya tetap tak setuju. Arif tak peduli. Dia ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri dengan biaya sendiri dan dia gagal. Orang tuanya semakin menyudutkannya. Melemahkan semangatnya. Mereka tak mau membiayai Arif kuliah di universitas swasta. Mahal! Lebih baik uangnya untuk memperluas usaha. Arif tak betah lagi. marah, resah, Arif kabur. Menuju kota tetangga.
Jalanan menjadi tempat berlabuh. Dengan uang tabungan seadanya, dia menyewa kontrakan sederhana. Komunitas pemuda jalanan menjadi wadah pergaulannya. Semoga ada perdamaian di sana. Hari demi hari selalu sama. Mengamen di warung kaki lima. Menjual suara dari satu angkot ke angkot lain. Sayang, damai tak juga datang. Teman seprofesi tak ada yang membuat nyaman. Selain mahir bermain gitar, mereka juga pandai bermain kartu. Menukar uang, keringat seharian dengan satu kegiatan; judi! Sering pula dibarengai dengan mabuk-mabukan. Main perempuan, Bandar narkoba, membayangi langkah. Arif tak betah. Kembali dia menekuni kebiasaan lama: menulis.
Arif menumpahkan isi hati, kegelisahan dan keresahannya dalam bait-bait lagu, puisi, dan untaian hikmah. Lewat tulisan dia mencari, apa sebenarnya yang dia inginkan. Apa yang bisa membuatnya tenang. Arif menuangkan pikirannya hingga berlembar-lembar. Beberapa dibukukan untuk dikonsumsi sendiri. Dengan membaca tulisannya, dia seolah bercermin, melihat lebih dalam, siapa dirinya sebenarnya?
Sampai akhirnya dia sadar. Orang tuanya tak mempekenalkan satu hal penting: “Tuhan” Orang tuanya tidak mengajarinya mencintai Tuhan. Tidak mencontohkan bagaimana menyembah Tuhan. Dia tak begitu paham, ada lima waktu dimana dia harus tegak menghadap Tuhan-Nya. Disekolah memang sempat hal itu dia pelajari. Tapi berlalu saja bersama angin. Arif mulai menyimak panggilan azan. Berjalan menuju pada-Nya.
Saat sujud, saat merendahkan diri dihadapan-Nya, barulah arif mendapatkan kedamaian. Inilah titik akhir pencariannya. Arif mulai belajar, bagaimana salat yang baik dan benar. Bagaimana cara merayu-Nya dan tetap dekat dengan-Nya.
Amal akhirat sudah berusaha dijalankan, bagaiman dengan amal dunia? Arif kembali berkaca. Kemampuan apa yang dia miliki sehingga bisa bermanfaat untuk orang lain? Dia teringat tulisannya, yang telah menemaninya saat melewati masa-masa sulit. Dia teringat mesin cetak sablon. Dengan modal seadanya, dia membuka usaha percetakan dan sablon. Usahanya merangkak, dari kecil sehingga lumayan besar. Cukuplah untuk membiayai hidupnya sendiri. meskipun begitu, tekadang merasa jenuh. Padahal salat dan amalan sunah sudah sering dilaksanakan.
Beberapa jamaah baru di masjid menasehati “selain beribadah secara vertikal, kau juga harus beribadah secara horizontal. Ajak orang lain kembali kepada-Nya, supaya orang merasakan kedamaian yang sama.”
Arif tercenung benar juga. Arif mengamati si penasehat dan rekan-rekannya. Mereka baru sehari disana. Berasal dari tempat yang jauh, menginap dimasjid. Mereka senantiasa mengadakan perjalanan dakwah, rutin setiap bulan. Mengajak orang-orang kembali ke masjid, menjaga salat dan mengajarkan amalan sunah. Setiap selesai salat, mereka membaca kitab kumpulan hadis dan sunnah. Arif tergerak, ikut berdakwah.
Arif merubah penampilannya. Dia mencukur kumis, memanjangkan janggut. Kadang-kadang memakai celak mata dan sorban dikepala. Pakaianya warna-warna tanah. Celana menggantung tak menutupi mata kaki. Tapi dia belum ikut perjalanan jauh. Membekali diri dengan ilmu dulu. Percuma ikut perjalanan kemana-mana, tapi tak punya ilmu untuk disampaikan. Setelah merasa punya bekal ilmu, dia memilih berdakwah kepada lingkungan sekitarnya, tak perlu pergi jauh. Kerja, ibadah, dan dakwah dikelola sedemikian rupa: beriringan, bersinergi. Mendukung satu sama lain.
Saat kedamaian melingkupi, berbagai cobaan datang. Usaha percetakanya merugi. Seorang teman menipu, memesan barang cetakan tanpa dibayar. Lamarannya pada beberapa gadis ditolak mentah-mentah. Dan akhirnya, sebuah truk menabraknya. Arif terluka parah. Gigi depannya patah semua. Selama beberapa minggu dia harus istirahat total di kamar. Di masa penyembuhan itulah dia teringat orang tuanya. Sejak dia kabur, dia tak pernah memberi kabar. Bagaimana keadaan mereka? Apakah sudah tergerak untuk mengingat Tuhan? Arif bertekad, begitu sembuh dia akan mengunjungi orang tuanya.
Pulang kerumah, dia kembali bertemu dengan sepi. Menjelang larut malam barulah kedua orangtuanya pulang. Mereka hampir tak mengenali Arif. Penampilannya begitu berbeda. Mengenakan sorban dan jubah panjang. Mereka baru yakin ketika Arif menegur. Meminta maaf atas kesalahannya. Orangtuanya terharu. Betapa anaknya sudah menjadi sosok berbeda tanpa sentuhan mereka.
Selama berada di rumah orangtuanya, Arif tak henti menasehati. Mengajak mereka salat.
“Ibu sudah lupa bacaanya.” Kata ibunya.
“Bisa dipelajari lagi, bu.”
Bapak malu kalau tetangga tahu, bapak baru belajar salat,” ucap ayahnya.
Tak perlu malu, pak. Mereka lepas tangan saat Allah bertanya, untuk apa hidup kita?”
Arif dengan sabar menuntun kedua orang tuanya kembali kepada jalanya. Setelah yakin orang tuanya bisa salat tanpa dituntun. Arif kembali kerumahnya. Dan setelah itu berbagai kemudahan datang kepadanya. Seorang teman meminjami modal usaha. Tetangga menawarkan anak gadisnya. Hidup Arif benar-benar damai sekarang. Dia telah menemukan cinta yang sebenarnya.
Dinukil Oleh :
Majelis Al-Qur’an An-Nawawi
Musholla An-Nawawi
Mergosono Malang

Kitab kitab Dalam Madzhab Syafii

Keterangnan :
  1. Kitab-kitab Imam Syafi'i Rhl. "Al Imla' " dan "Al-Hujjah" adalah kitab-kitab qaul qadim yang tidak dipakai lagi, karena semua isinya sudah termasuk dalam kitab-kitab Qaul Jadid.
  2. Kitab-kitab Imam Syafi'I yang dipakai sebagai kitab induk adalah kitab-kitab Umm, Mukhtasar, Buwaithi dll.
  3. Imamul Haromain mengikhtisarkan (memendekkan) kitab-kitab Imam Syafi'I dengan kitabnya yang bernama " An Nihayah ".
  4. Imam Ghazali memendekkan juga kitab-kitab Imam Syafi'I dengan kitab-kitabnya yang bernama Al Basit,  Al Wasit, dan Al Wajiz.
  5. Imam Ghazali juga mengikhtisarkan lagi dengan kitabnya yang bernama Al Khulasah.
  6. Imam Rafi'I mensyarah kitab Imam Ghazali Al Wajiz dengan kitabnya yang bernama Al Aziz.
  7. Dan Imam Rafi'i  juga memendekkan kitab Imam Ghazali Al Khulasah dengan kitabnya yang bernama Muharrar.
  8. Imam Nawawi memendekkan dan menambah disana-sini kitab Al Muharrar itu dengan kitabnya bernama Minhajut Thalibin (Minhaj).
  9. Kitab Imam Nawawi, Minhaj disyarahkan oleh Imam ibnu Hajar al Haitami dengan kitabnya Tuhfah, oleh Imam Ramli dengan Kitabnya An Nihayah, oleh Imam Zakaria Al Ansari dengan kitabnya yang bernama Minhaj juga, oleh Imam Khatib Syarbaini dengan Mughni al Muhtaj. (Kitab-kitab tersebut dalam nomor 8 – 9 ini banyak beredar di pesantren-pesantren Indonesia)
  10. Dan Imam Rafi'i pernah mensyarahkan kitab karangannya Imam Ghazali Al Wajiz dengan kitabnya yang bernama Al 'Aziz.
  11. Imam Nawawi pernah memendekkan kitab Imam Rofi'i dengan kitabnya yang bernama Ar Raudhah.
  12. Imam Quzwaini pernah memendekkan kitab Al Aziz dengan kitabnya yang bernama Al Hawi.
  13. Kitab Al Hawi pernah  diikhtisarkan oleh Ibnu Muqri dengan kitabnya yang bernama Al Irsyad dan Al Irsyad ini disyarahkan oleh Ibnu Hajar  al Haitami dengan kitabnya yang bernama Al Imdad. 
  14. Kitab Imam Nawawi bernama Ar Raudah pernah diikhtisarkan oleh Imam Ibnu Muqri dengan nama Ar Raudh dan Imam Mazjad dengan Al Ubab.
  15. Kitab Ibnu Muqri Al Irsyad pernah disyarahkan oleh Imam Ibnu Hajar dengan Kitabnya yang bernama Al Imdad dan dengan kitabnya bernama Fathul Jawad.
  16. Kitab Ar Raudh dari Ibnu Muqri pernah disyarah oleh Imam Zakaria al Ansari dengan nama Asnal Mathalib.
  17. Imam Zakaria Al Ansari pernah mensyarah kitabnya yang bernama Al Minhaj dengan kitabnya yang bernama Fathul Wahab.
Demikianlah keterangan ringkas dari ranji kitab-kitab dalam madzhab Syafi'I yang sangat teratur rapi, yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kitab-kitab ini ada dan banyak tersiar di Indonesia dan ada juga yang tidak sampai ke Indonesia tetapi dengan membaca sebagian dari kitab-kitab ini kita sudah dapat memahami seluruh fatwa fiqih dalam madzhab Syafi'i, karena sebagaimana kami katakan di atas semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Kemudian banyak kitab-kitab fiqih Syafi'i yang dikarang oleh ulama Mutaakhirin yang tidak tersebut dalam ranji ini karena terlalu banyak, seperti kitab-kitab Al Mahalli karangan Imam Jalaludin Al Mahalli, kitab Fathul Mu’in karangan Al Malibari, kitab I'anathut Thalibin karangan Sayid Abu Bakar Syatha dan lain-lain yang banyak sekali.
Dengan perantaraan kitab-kitab ini kita sudah dapat memahami dan mengamalkan fatwa fiqih dalam Madzhab Syafi'i secara teratur dan secara rapi terperinci, yang kesimpulannya kita sudah dapat mengamalkan syari'at dan ibadah Islam dengan sebaik-baiknya.
Dinukil dari Kitab : SEJARAH DAN KEAGUNGAN MADZHAB SYAFI’I Karangan KH Sirodjuddin ‘Abbas